Tawassul dalam pengertian Agama adalah berdoa kepada
Allah SWT dengan menggunakan perantara sesuatu yang mempunyai nilai lebih.
Tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usahanya untuk
memperoleh kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT, atau untuk mewujudkan
keinginan dan cita citanya. Berdoa dengan bertawassul maksudnya memohon kepada
Allah dengan menyebutkan sesuatu yang dicintai dan diridloi-Nya.
Tawassul merupakan salah satu cara atau metode serta
bentuk dalam memohon yang diarahkan dan dihadapkan kepada Allah SWT, dengan
menggunakan “kelebihan” sesuatu dalam do’a tersebut. Sedang hakikat dalam
berdo’a dengan bertawassul adalah menghadap yang sebenar benarnya kepada Allah
SWT. Orang yang bertawassul itu sama dengan berdo’a dengan menggunakan media
atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, kalau terjadi keyakinan selain
ini (hanya sekedar media / wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah) maka
orang yang berdoa telah melakukan Syirik.
Orang melakukan tawassul atau berperantara dengan
seseorang karena dia mencintainya dan punya keyakinan bahwa Allah juga
mencintai orang tersebut (seseorang yang menjadi perantara tersebut) karena
juga sebagai orang yang Sholih. Namun bertawassul bukan merupakan keharusan
dalam berdo’a, bukan merupakan syarat dalam berdo’a, bukan penyebab terkabulkan
do’a, hanya sekedar menambah kemantapan (dalam perasaan) untuk terkabulkan
doanya, sedangkan dalam berdo’a secara mutlak adalah permohonan yang tertuju
khusus kepada Allah SWT.
Semua ulama sepakat bertawassul kepada Allah SWT
dengan menggunakan amal Sholeh sendiri, sangat dianjurkan, seperti kita
melakukan sholat, berpuasa, baca Alqur’an atau bersedekah kemudian berdo’a
kepada Allah dan bertawassul dengan puasanya, sholatnya, sedekahnya atau bacaan
Alqur’anya. Bertawassul seperti ini sangat diharapkan untuk bisa terkabulkan
do’anya dan memperoleh yang diminta. Dasar dari ungkapan ini adalah hadits Nabi
yang menceritakan tiga orang yang sedang berlindung didalam gua tapi guanya
tertutup dengan batu, sehingga mereka tidak bisa keluar, mereka sepakat memohon
kepada Allah sambil bertawassul dengan Amal shalih yang pernah mereka lakukan
sebelumnya, yang satu bertawassul dengan perbuatan berbakti kepada kedua orang
tuanya, yang satu lagi bertawassul dengan pernah menjauhi perbuatan dosa atau
maksiyat dan yang terakhir bertawassul dengan pernah menanggung amanat orang
lain tanpa pamrih sedikitpun. Hadits secara lengkap adalah sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما عن النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: خَرَجَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَمْشُوْنَ، فَأَصَابَهُمْ المَطَرُ، فَدَخَلُوْا فِِي غَارٍ فِي جَبَلٍ، فَانْحَطَتْ عَلَيْهِِمْ صَخْرَةٌ، قَالَ: فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: ادْعُوا اللهَ بِأَفْضَلَ عَمَلٍ عَمِلْتُمُوهُ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اَللهُمَّ إِنِّي كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ، فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَرْعَى، ثُمَّ أَجِيْءُ فَأَحْلِبُ، فَأَجِيْءُ بِالحِلاَبِ، فَآتِي بِهِ أَبَوَيَّ فَيَشْرَبَانِ، ثُمَّ أَسْقِي الصِبْيَةَ وَأَهْلِي وَامْرَأَتِي، فَاحْتُبِسْتُ لَيْلَةً فَجِئْتُ فَإِذاً هُمَا نَائِمَانِ، قَالَ: فَكَرِهْتُ أَنْ أُوْقِظَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغُوْنَ عِنْدَ رِجْلِي، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبُهُمَا حَتَى طَلَعَ الفَجْرُ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَمَاءَ، قَالَ: فَفُرِجَ عَنْهُمْ، وَقَالَ الآخَرُ: اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ أُحِبُّ امْرَأةً مِنْ بَنَاتِ عَمّي، كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ، فَقَالَتْ: لاَ تَنَالُ ذَلِكَ مِنْهَا، حَتَى تُعْطِيَهَا مِائَةَ دِيْنَارٍ، فَسَعَيْتُ فِيْهَا حَتَى جَمَعْتُهَا، فَلَمَا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا، قَالَتْ: اِتَّقِ اللهَ، وَلاَ تَفُض الخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ، فِقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً، قَالَ: فَفُرِجَ عَنْهُمْ الثُلُثَيْنِ، وَقَالَ الآخَرُ: اللهُمَّ إِنُ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيْراَ بِفِرَقٍ مِنْ ذُرَّةٍ، فَأَعْطَيْتُهُ وَأَبَى ذَاكَ أَنْ يَأْخُذَ، فَعَمِدْتُ إِلَى ذَلِكَ الفِرَقِ فَزَرَعْتُهُ حَتَى اشْتَرَيْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرَاعِيْهَا، ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله أَعْطِنِي حَقِّي، فَقُلْتُ اِنْطَلِقْ إِلَى تِلْكَ البَقَرِ وَرَاعِيْهَا، فَإِنَّهَا لَكَ، فَقَالَ: أَتَسْتَهْزِئُ بِي؟ قَالَ: فَقُلْتُ: مَا أَسْتَهَزِئُ بِكَ وَلَكِنّهَا لَكَ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا، فَكُشِفَ عَنْهُمْ . روواه البخاري في كتاب البيوع حديث رقم: 603
Dari Ibn Umar RA dari Nabi SAW berkata: ada tiga orang
yang sedang melakukan perjalanan, kemudian datang hujan, mereka berteduh di
dalam gua disebuah gunung, dan runtuhlah sebuah batu besar menutup (pintu) gua
tersebut ,-Nabi bercerita- maka sebagian dari mereka mengatakan: Berdoalah
kalian dengan bertawassul / berperantara amal terbaik kalian, maka berdoalah
seseorang dari mereka: Allahumma, saya mempunyai dua orang tua yang telah
renta, pekerjaan saya menggembala (disiang hari), pulang dan merah susu untuk
mereka, aku bawakan susu kepada mereka untuk diminum, kemudian untuk anak anak
dan isteriku. Suatu malam aku terlambat pulang dan mereka telah tidur, -Nabi
SAW bercerita- saya tidak berani membengunkan mereka, anak anaku di kakiku iri
dengan mereka, begitu itu sampai fajar menyingsing. Ya Allah, Engkau tahu bahwa
itu aku lakukan untuk mencari ridlo-Mu, maka bukakan batu ini sehingga kami
melihat langit. -Nabi SAW bercerita- maka dibukakanlah batu tersebut sedikit.
Yang lain berdoa: Ya Allah, Engkau tahu aku mencinta seorang perempuan dari sepupuku,
seperti orang sedang dimabuk cinta pada wanita, dia mengatakan: kamu tidak akan
mendapatkan tubuhku kecuali memberi uang seratus dinar. Aku usahakan untuk
mengumpulkanya, sampai kuperolehnya, dan disaat aku sudah duduk diantara kedua
pahanya, dia berkata: Takutlah kamu kepada Allah, Jangan lah kamu lobangi
cincin itu kecuali dengan hak haknya. Aku berdiri dan meninggalkanya.Ya Allah,
Kamu tahu aku melakukan itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu ini.
Maka terbukalah batu tersebut dua pertiga. Dan yang lain berdoa: Ya Allah,
Engkau tahu aku mempekerjakan seorang dengan bayaran segantang jagung, pada
waktu aku berikan upah kerjanya dia menolak dan pergi. Kemudian aku tanam
jagung tersebut dan berkembang sampai bisa untuk membeli sapi dan kandangnya.
Beberapa tahun kemudian dia datang sambil berkata: Hai Abdullah, berikan hak
saya yang dulu, aku jawab: ambillah sapi itu, dia berkata: jangan mengejekku,
-Nabi bercerita-: aku menjawab: bukan aku mengejekmu, tapi itu milikmu. Ya
Allah, ku lakukan itu karena mencari ridlo-Mu, maka bukakanlah batu itu. Dan
terbukalah batu tersebut. (HR Bukhori:603)
Namun yang menjadi permasalahan disini adalah
bertawassul bukan dengan amal shalih sendiri, tapi menggunakan keberadaan atau
kepribadian orang lain, atau bertawassul dengan para Nabi, dengan para Wali
Allah, dengan orang Shalih dan lain sebagainya seperti;
Ya Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad SAW, Ya
Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Shahabat Nabi-Mu Abu Bakar Shidiq, Ya
Allah saya bertawasul kepada-Mu dengan Kekasih-Mu Wali-Mu Syekh Abdul Qodir
Jaelani, Ya Allah selamatkan umat ini dengan Ahli perang Badar dan seterusnya,
tawassul semacam ini dikatakan oleh sebagian orang sebagai hal terlarang, yang
bid’ah dan yang melakukanya menjadi musyrik. Kalau kita perhatikan sejenak,
bertawassul dengan keberadaan orang lain tersebut hakikatnya kita bertawassul
dengan amal kita sendiri, kita punya keyakinan bahwa seseoramg yang kita
hormati dan kita cintai adalah orang yang dicintai oleh Allah SWT, karena
beliau adalah orang yang berjihad menegakkan agama Allah, Rasa cinta kita
kepada orang tersebut merupakan amal kita, dalam berdo’a dan bertawassul
tersebut seperti kita mengatakan: “Ya Allah, saya mencintai dia, dia telah
mencintai-Mu, dia secara ikhlas berjuang menegakkan agama-Mu, dan saya percaya
Engkau mencintainya, Engkau ridlo atas perbuatanya, maka dengan ini aku
bertawassul / berperantara dengan cintaku padanya dan dengan keyakinanku bahwa
Engkau mencintainya agar Engkau memberiku ………”. Ungkapan ini dengan ungkapan
diatas tadi adalah sama, sehingga tidak ada larangan dari siapapun dalam
melaksanakan do’a dengan tawassul seperti contoh contoh diatas.
Bahkan bertawassul merupakan ajaran yang diajarkan dan
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan, dan adakalanya
menyampaikan dalam sebuah cerita yang menjadi teladan atau beliau sendiri juga
melakukan. Beberapa dalil hadits berikut sebagai contoh tawassul:
- Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.
عَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رضي الله عنه قال: قال
رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: “لَمَا اقْتَرَفَ آدَمُ الخَطِيْئَةَ، قَالَ: يَا
رَبِّ ! أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ الله: يَا آدَمُ ! كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ
أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ! ِلأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ،
وَنَفَخْتَ فِيّ مِنْ رُوْحِكَ، رَفَعَََََََََََََََْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَى
قَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُوْبًا: لااِلَهَ الا الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله،
فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ اِلَى اسْمِكَ إِلاَ اَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ،
فَقَالَ الله: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لأَحَبُّ الخَلْقِ اِلَيَّ، ادْعُنِي
بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلََََََوْلا مُحَمَدٌ مًا خَلَقْتُكَ ”
أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه 2/615
أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه 2/615
Dari Umar
ibn Khathab RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: ketika Adam melakukan
kesalahan, berdoa: Ya Tuhanku, saya memohon dengan keberadaan Muhammad, agar
Engkau mengampuniku. Allah bertanya: Hai Adam, Bagaimana kamu mengenal Muhammad
padahal Aku belum menciptakanya ? Jawab Adam: Ya Tuhanku, sewaktu Engkau
menciptakanku, dan meniupkan Ruh kepadaku, aku mengangkat kepalaku dan kulihat
tulisan di tiang Aresy : Lailaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, dari situ aku
ngerti bahwasanya Engkau tidak menyandingkan ke Asma Mu kecuali makhluk yang
paling Engkau cintai. Allah berfirman: Kamu benar hai Adam, dia adalah makhluk
yang paling aku cintai, berdoalah dengan (bertawassul) keberadaanya maka Aku
ampuni kamu, seandainya tidak ada Muhammad aku tidak menciptakanmu.” (HR Al
Hakim 2\615)
Dalam hadits
ini diceritakan oleh Rasulullah SAW bahwa Nabi Adam bertawassul dengan Nabi
Muhammad SAW, maka ada kesimpulan yang bisa dipetik sebagai berikut:
1. Nabi Adam bertawassul dengan makhluk yang belum diciptakan (Muhammad), berarti boleh melakukan tawassul dengan orang yang tidak atau belum hidup.
2. Boleh bertawassul dengan keberadaan orang, bukan hanya dengan amal shalih.
3. Bertawassul dengan orang yang mempunyai nilai tinggi disisi Allah.
1. Nabi Adam bertawassul dengan makhluk yang belum diciptakan (Muhammad), berarti boleh melakukan tawassul dengan orang yang tidak atau belum hidup.
2. Boleh bertawassul dengan keberadaan orang, bukan hanya dengan amal shalih.
3. Bertawassul dengan orang yang mempunyai nilai tinggi disisi Allah.
- Orang Yahudi bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW.
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ
لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلىَ الذِيْنَ
كََفَرُوْا، فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ
عَلَى الكَافِرِيْنَ {البقرة 89
“Dan setelah
datang kepada mereka Alqur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka, padahal sebelumnya mereka memohon (dengan bertawassul kedatangan Nabi)
untuk mendapat kemenangan atas orang orang kafir, maka setelah datang kepada
mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah lah atas orang kafir”. (QS 2:89)
Dalam ayat
ini Allah menceritakan ulah kaum Yahudi yang mengingkari kedatangan seorang
Nabi yang mereka tunggu dengan membawa Kitab yang membenarkan / meluruskan
kitab milik mereka, dimana sebelumnya mereka selalu bertawassul / berperantara
dengan Nabi yang akan datang memohon kepada Allah untuk diberi kemenangan dalam
setiap berperang melawan orang orang kafir.
- Tawassul dengan Nabi SAW semasa hidupnya.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَنِيْفٍ، أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ
البَصَرِ أَتَى النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ
يُعَافِيَنِي، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ
لَكَ، قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنُ
وُضُوءَهُ، وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ، اللهُمَّ إِنِي أَسْأَلُكَ
وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي
تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ، لِتَقْضِىَ لِي، اللهُمَّ
فَشَفِّعْهُ فِيَّ . رواه الترمذي
في كتاب الدعوات حديث رقم: 16604 قَال الترمذي: حديث حسن صحيح
Dari Utsman
ibn Hanif, bahwasanya ada seorang lelaki buta menghadap Nabi SAW seraya
berkata: Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan kebutaanku. Nabi berkata:
kalau memang kamu mau akan aku doakan, dan kalau kamu bersabar akan lebih baik
bagimu. Orang tersebut berkata: doakanlah. Nabi memerintahkan agar mengambil
air wudlu dengan sempurna, kemudian meminta kepada Allah dengan doa seperti
ini: Ya Allah, saya memohon dan menghadap kepada Mu dengan perantara Nabi Mu
Muhammad, Nabi pembawa rahmat, saya menghadap denganmu (Muhammad) kepada
Tuhanku dalam urusanku agar dikabulkan untukku, Ya Allah kabulkanlah untukku.
(HR Tirmidzi 16604, haditsnya Hasan Shahih)
Dalam hadits
riwayat Tirmidzi ini, Nabi mengajarkan bagaimana sebaiknya tawassul itu
dilakukan, diajarkan agar melakukan tawassul dengan dirinya, tapi doa tetap
tertuju kepada Allah SWT. Berdoa memang bisa langsung kepada Allah, bisa minta
kepada orang yang lebih shalih untuk mendoakan untuknya, tapi juga bisa
dilakukan sendiri dan bertawassul dengan Nabi seperti cerita kedatangan orang
tersebut kepada Nabi agar beliau berkenan mendoakan dan menjadi perantara /
wasilah, atau juga do’a bisa dilakukan dengan tanpa tawassul, tapi bertawassul
lebih baik bagi yang berdo’a seperti yang diajarkan oleh beliau.
- Tawassul dengan barang bekas dari Nabi SAW
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ خَاتَمُ النَبِي صلى الله عليه
وسلم فِي يَدِهِ، وَفِي يَدِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَهُ، وَفِي يَدِ عُمَرَ بَعْدَ
أَبِي بَكْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ جَلَسَ عَلَى بِئْرِ أَرِيْسَ، قَالَ:
فَأَخْرَجَ الخَاتَمَ، فَجَعَلَ يَعْبَثُ بِهِ فَسَقَطَ، قَالَ:
فَاخْتَلَفْنَا
ثَلاَثَةَ أَيَامٍ مَعَ عُثْمَانَ، فَنُزِحَ البِئْرُ، فَلَمْ يَجِدْهُ
.رواه البخاري
في كتاب اللباس حديث رقم: 5429
Dari Anas
berkata: Cincin Nabi SAW dulu berada di tangan beliau, setelah itu berada pada
tangan Abu Bakar, terus berada pada tangan Umar setelah Abu Bakar, pada masa
Utsman sewaktu beliau duduk dipinggir sumur Aris – Anas bercerita – beliau
melepas cincin tersebut, namun cincin tersebut terlepas dan masuk kedalam
sumur, selama tiga hari kami mencari dengan Utsman, sampai sumur dikuras cincin
tersebut tidak ditemukan. (HR Bukhori:5429)
Dari hadits
ini dapat disimpulkan bahwa barang bekas pakai oleh Nabi SAW bisa dibuat
tawassul, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka
memakai cincin Nabi SAW untuk apa kalau bukan untuk bertawassul disetiap
langkah dan setiap aktivitas agar memperoleh perlindungan Allah SWT, lebih
jelasnya kita lihat hadits (باب مَا أَكْرَمَ اللَّهُ تَعَالَى
نَبِيَّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ) berikut ini:
عن عبدالله عَنْ أَسْمَاءَ فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَخْرَجَتْ إِلَىَّ جُبَّةَ طَيَالَسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةً لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا.
صحيح مسلم – (ج 14 / ص 23
Dari Abdullah berkata: Asma menunjukkan jubbah lorek lorek yang sakunya terbuat dari sutera tebal yang biasa diperuntukkan para raja Kisra (Persia), dengan model terbelah depanya, Asma mengatakan: ini Jubbah Rasulullah SAW yang biasa dipakainya, dulu ada pada Aisyah, namun setelah Aisyah wafat aku pegang untukku, dan kami mencucinya kalau ada orang sakit untuk pengobatan agar sembuh. (HR Muslim 14:23)
عن عبدالله عَنْ أَسْمَاءَ فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَخْرَجَتْ إِلَىَّ جُبَّةَ طَيَالَسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةً لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا.
صحيح مسلم – (ج 14 / ص 23
Dari Abdullah berkata: Asma menunjukkan jubbah lorek lorek yang sakunya terbuat dari sutera tebal yang biasa diperuntukkan para raja Kisra (Persia), dengan model terbelah depanya, Asma mengatakan: ini Jubbah Rasulullah SAW yang biasa dipakainya, dulu ada pada Aisyah, namun setelah Aisyah wafat aku pegang untukku, dan kami mencucinya kalau ada orang sakit untuk pengobatan agar sembuh. (HR Muslim 14:23)
Beberapa
sahabat Nabi bertawassul dengan jubbah beliau dalam urusan pengobatan untuk
setiap orang yang sakit, hal itu dikatakan dengan kata “Nahnu” yang artinya
kami, membuktikan bahwa dalam kepercayaan para sahabat terhadap barang barang
yang ditinggalkan oleh Nabi SAW adalah mempunyai nilai lebih dibandingkan
barang biasa yang juga bisa digunakan tawassul, selain jubbah dan cincin
tersebut masih ada juga mereka berebut rambut Nabi, helai perhelai disimpannya,
bahkan air bekas wudlu beliaupun diperebutkan disaat beliau masih hidup tanpa
ada larangan dari beliau.
- Tawassul dengan orang yang punya nilai lebih.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَابِ
رضي الله عنه كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقَى بِالعَبَاسِ بْنِ عَبْدِ
المُطَلِّبِ فَقَالَ: اللهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا
فَتَسْقِيْنَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا،
قَالَ: فَيُسْقَوْنَ . رواه البخاري
في كتاب الجمعة حديث رقم: 954
Dari Anas
ibn Malik bahwasanya Umar ibn Khathab apabila mengalami paceklik (kekeringan)
meminta hujan kepada Allah sambil bertawassul dengan Abbas ibn Abdul Muthalib,
beliau berdoa: Ya Allah, dulu kami meminta kepada Mu sambil bertawassul dengan Nabi
Mu, tapi kini kami memohon kepada Mu sambil bertawassul dengan paman Nabu Mu,
maka turunkanlah hujan. Anas berkata: maka turunlah hujan. (HR Bukhari:954)
- Tawassul dengan kubur Nabi SAW.
عَنْ أَبِي الجَوْزَاء أَوْسِ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ:
قَحَطَ أَهْلُ المَدِيْنَةِ قَحْطًا شَدِيْدًا، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ،
فَقَالَتْ: انْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِي صَلىَّ الله عليه وَسَلَّمَ، فَاجْعَلُوْا
مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتىَّ لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ
سَقْفٌ، قَالَ: فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتىَّ نَبَتَ العُشْبُ
وَسَمِنَتْ الإِبِلُ، حَتىَ تَفَتَقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِيَ عَامُ الفَتَقِ .رواه الدارمي في المقدمة حديث رقم: 92
Dari Abi al
Jauza Aus ibn Abdillah bercerita: Penduduk Madinah dilanda kekeringan sangat
parah, mereka mengadu kepada Aisyah (Isteri Rasulullah), maka saran beliau:
lihatlah kuburan Rasulullah SAW dan jadikanlah (dalam doa kalian) sebagai kunci
(tawassul) ke langit, sehingga antara kuburan dan langit tidak ada atap yang
menghalangi. Abu al Jauza berkata: mereka melakukan saran tersebut, maka
diturunkanlah hujan sampai rumput tumbuh, dan onta gemuk, sehingga penuh dengan
lemak, akhirnya disebut tahun yang subur. (HR Dailami:92)
Demikianlah
beberapa dasar yang digunakan legalisasi terhadap amaliyah tawassul, masih
banyak dasar lain yang tidak mungkin kita sebutkan satu persatu didalam
lembaran yang sangat terbatas ini, dan perlu diketahui bahwa ulama mengajarkan
bertawassul bukan berarti menyuruh mereka mengkultuskan kuburan atau penghuni
kubur yang telah menjadi bangkai dan hancur itu, namun kita dianjurkan
bertawassul untuk memberi penghormatan dan pengakuan atas kedudukan dan
kemuliaan seorang alim, mengenang jasa dan jihad mereka dalam menegakkan agama
Allah.
Soal: Selain
Tawassul tersebut diatas, bolehkah kita memohon kepada orang yang telah
meninggal untuk mendoakan kita?
Jawab: Dalam
tradisi kita sering melakukan tawassul dengan menjadikan seseorang yang punya
nilai lebih tidak hanya sekedar sebagai wasilah seperti yang dijelaskan diatas,
namun meminta kepadanya agar mendoakan kepada Allah SWT, mengingat dalam
introsepeksi diri (muhasabah nafs) kita adalah manusia yang banyak dosa,
berlipatkan kesalahan, tidak luput dari perbuatan maksiyat, maka menghadap
kepada orang yang dianggap lebih bersih dari pribadi kita, orang yang lebih
bertakwa, orang yang lebih dicintai oleh Allah (walaupun telah meninggal) agar
memintakan kepada Allah apa yang kita inginkan.
Diantara saudara kita banyak yang berziyarah ke makam para wali, makam ulama dan kiyai, dalam berziyarah tersebut mereka meminta (berdo’a sambil bertawasssul) kepada para wali, ulama, dan kiyai yang telah meninggal tersebut untuk memohonkan kepada Allah atas hajat dan kebutuhan mereka. Dalam doanya mereka mengatakan: Ya Sunan Kalijaga aku menghadap kepadamu memohon engkau berkenan memintakan hajat dan kebutuhan saya kepada Allah, atau ungkapan doa: Romo kyai, kulo sowan nyuwun dumateng jenengan kersoho nyuwunaken dumateng Alloh supados kulo diparingi…….
Ini
merupakan tawassul yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, yang merasa
dirinya berlumurkan dosa dan kesalahan sehingga tidak layak meminta langsung
kepada Allah Yang Maha Suci, mereka bertawassul pada para wali, kiyai, atau
ulama untuk dimintakan kepada Allah SWT.
Hal itu sebagaimana terjadi pada masa Kholifah Umar ibn Khathab ketika dilanda kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan kelaparan, paceklik, paila, atau sejenisnya dengan cerita:
Hal itu sebagaimana terjadi pada masa Kholifah Umar ibn Khathab ketika dilanda kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan kelaparan, paceklik, paila, atau sejenisnya dengan cerita:
عَنْ مَالِكٍ الدَّارِي قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ
فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِِ الخَطَّابِ، فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِي صَلَّى
الله عَليه وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْل الله، اِسْتَََسْقِ اللهَ ِلأُمَّتِكَ
فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه
وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ، فَقَالَ: اِئْتِ عُمَرَ فَاقْرَئْهُ مِنّيِ السَّلاَمَ،
وَاَخْبِرْهُمْ اَنَّهُمْ مُسْقُوْنَ، وَقُلْ لَهُ:عَلَيْكَ بِالكَيِّسِ
الكَيِّسِ، فَأَتَى الرَّجُلُ فَأَخْبَرَ عُمَرَ، فَقَالَ: يَا رَبِّ، مَا آلوْ
إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.رواه البيهقي وابن ابي شيبة باسناد صحيح وقال ابن حجر في
فتح الباري 2/415 اسناده صحيح
Dari Malik
al Dari berkata: pada masa Umar ibn Khathab terjadi kekeringan yang menyebabkan
kelaparan, seseorang mendatangi kuburan Nabi SAW sambil berkata: Ya Rasulallah,
mintakanlah hujan kepada Allah untuk kepentingan ummatmu, karena mereka telah
hancur (karena kekeringan). Rasulullah SAW mendatanginya dalam mimpi dan
mengatakan: datanglah kepada Umar, sampaikan salam dariku, dan sampaikan mereka
akan diturunkan hujan, serta katakan kamu akan mendapat balasan pahalanya.
Orang tersebut mendatangi dan mengabarkan pada Umar, beliau berkata: Ya
Tuhanku, saya tidak akan berlebih lebihan kecuali sesuai kemampuanku. (HR
Baihaqi dan ibnu Abi Syaibah serta Al Bukhori dalam kitab al Tarikh))
Kedatangan
seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin al Harits al Muzani ke kuburan Nabi
SAW dan minta kepada Nabi untuk memohonkan kebutuhan umat kepada Allah, yang
kemudian dalam cerita tersebut tidak mendapat tentangan dan larangan dari
sahabat yang lain, hadits ini merupakan dasar dari tawassul minta didoakan oleh
para wali atau kiyai yang telah meninggal.
Dengan
demikian berarti segala jenis dan cara bertawassul yang sesuai dengan apa yang
telah kami tulis diatas adalah sesuai dengan ajaran syariah Islam, bukan
merupakan hal yang bid’ah apalagi syirik.
Dari penjelasan
tersebut, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
- Bertawassul adalah berdo’a kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara / wasilah. Dan wasilah dalam doa ini bisa bermacam macam.
- Doa dengan Tawassul ini tidak ada nilai tambah dibanding doa langsung kepada Allah SWT, namun untuk memperkuat keyakinan bahwa doa kita akan terkabulk an oleh Allah, karena banyak kita temukan dasar yang menyatakan diantaranya bila kita selesai mengkhatamkan Alqur’an maka doa saat itu akan terkabulkan. Sehingga kita dalam berdoa bertawassul dengan khatam Alqur’an untuk terkabulkan doanya
- Bertawassul dengan Amal Saleh sendiri adalah sangat dianjurkan, mengingat hal itu diceritakan oleh Nabi SAW sebagai contoh bukti amal baik.
- Sarana yang bisa digunakan Wasilah atau Tawassul adalah:
- Orang yang mempunyai nilai lebih, mempunyai nilai tinggi disisi Allah, dalam keadaan hidup; seperti Nabi, Wali, Kyai, dan lain sebagainya.
- Orang yang telah meninggal dunia namun disaat hidupnya dia mempunyai nilai lebih. Seperti jenazah para wali atau ulama dan lainya.
- Barang peninggalan yang terkait langsung dengan pribadi yang punya nilai lebih tersebut. Seperti senjata peninggalan para wali, pakaian para Wali dan seterusnya.
- Tempat yang pernah dipakai sosok tersebut diatas. Seperti petilasan Nabi SAW, Kuburan Nabi SAW, Kuburan Wali, tempat bertapa / semedi (goa Hiro’) dan lain sebagainya.
- Secara teori, ada dasar bahwa sesuatu tersebut punya nilai lebih, seperti air Zam zam, Hajar Aswad, Multazam, Raudloh dan seterusnya.
- Amal baik dari seseorang, terutama amal yang teristimewa baginya, sangat mendorong untuk terkabulkan doanya, karena diiringi perasaan yang mantap dalam berdoa akan terkabulkan doanya.
- Keagungan, kehebatan atau keistimewaan orang lain, seperti tawassul dengan Ahli Badr, Tawassul dengan “Jah” Rasulullah.
- Boleh meminta kepada orang yang telah meninggal dunia untuk memohonkan kepada Allah SWT atas hajatnya. Orang yang meninggal dunia mendengar salam kita, mengenal kita, bahkan mendengar ucapan kita (lihat pembahasan Ziyarah Kubur), mereka bila sebagai orang saleh, maka akan memohonkan kepada Allah SWT atas apa yang kita inginkan.
- Sebagai manusia yang tak lepas dari dosa, berlumurkan dosa, penuh dengan khilaf, kiranya kurang layak bila meminta langsung kepada Sang Kholik, namun kita menjadikan orang yang saleh, yang bersih dari dosa, yang lebih taat dari kita unt7uk memintakan dan memohonkan hajat kita kepada Allah SWT.
- Bertawassul merupakan ajang silaturrohim dari yang masih hidup dengan yang telah meninggal, bila yang meninggal itu punya nilai lebih dibanding yang masih hidup, maka kedatangan yang masih hidup merupakan sowan dan menghadap.