Dari Umar bin Khathab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيِهِ
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat;
dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan
dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan)
Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan
rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia
yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”
Takhrij Ringkas Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh: Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953, dengan lafazh yang berbeda-beda) dan Muslim dalam kitab Shahih-nya hadits no. 1907. Dan lafazh hadits yang tersebut di atas dicantumkan oleh An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin dan kitab Arba’in dan Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam.
Biografi Periwayat Hadits
Umar bin Al-Khaththab
Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah Umar bin Al-Khaththab bin Nufail
Al-Qurasyi Al-’Adawi, Abu Hafsh Amirul Mukminin. Abu Nu’aim meriwayatkan
melalui jalan Ibnu Ishaq, beliau menceritakan: ‘…Beliau (Umar)
dilahirkan empat tahun setelah perang Fijar, yaitu 30 tahun sebelum
Rasulullah diangkat menjadi nabi…’ Beliau bersikap keras terhadap kaum
muslimin pada awal-awal kenabian Rasulullah; kemudian masuk Islam; dan
keislaman beliau membuka kemenangan dan kelapangan bagi kaum muslimin.
Abdullah bin Mas’ud berkata: ‘Kami baru dapat beribadah kepada Allah
secara terang-terangan setelah Umar masuk Islam.’” (Kitab Al-Ishabah IV/484 no. 5752).
Syaikh Al-Mubarakfuri berkata, “Beliau masuk Islam pada bulan
Dzulhijjah tahun ke-6 kenabian, yaitu tiga hari setelah Hamzah bin Abdul
Muththalib masuk Islam. Nabi pernah berdo’a kepada Allah agar Umar
masuk Islam. Tentang hal ini At-Tirmidzi (Kitab Sunan At-Tirmidzi hadits no. 3681). Meriwayatkan dari Ibnu Umar dan sekaligus menilainya shahih, dan Ath-Thabarani dari Ibnu Mas’ud (Kitab Al-Mu’jam Al-Kabir hadits no. 10314) dan Anas (Kitab Al-Mu’jam Al-Ausath hadits no. 1860) bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu dari yang paling Engkau cintai: Umar bin Al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.”
Kita mengetahui, ternyata Allah memilih Umar. (Kitab Ar-Rahiq Al- Makhtum hal. 116).
Al-Mizzi berkata, “Beliau berhijrah ke Madinah sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;
ikut serta dalam perang Badar dan semua peperangan yang lain bersama
Rasulullah; memegang tampuk kekhalifahan selama sepuluh tahun lebih lima
atau enam bulan; terbunuh (mati syahid) pada hari Rabu tanggal 26 atau
27 Dzulhijjah tahun 23 H. Abu Umar bin Abdul Barr berkata, ‘…Melalui
tangannya Allah menaklukkan negeri Syam, Irak dan Mesir; membuat
dewan-dewan (departemen-departemen dalam pemerintahan); dan menetapkan
penanggalan hirjriyyah…’” (Kitab Tahdzibul Kamal II/1006).
Makna Ungkapan Hadits
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.”
Imam An-Nawawi berkata, “Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa,
ahli ushul dan yang lain lafadz إِنَّمَا digunakan untuk membatasi,
yaitu menetapkan sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi,
makna hadits di atas adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab
(diperhitungkan) berdasarkan niatnya; dan suatu amalan tidak akan
dihisab bila tidak disertai niat.” (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Lafadz النِّيَّةُ dalam
bahasa Arab sejenis dengan lafadz القَصْدُ (maksud), الإِرَادَةُ
(keinginan) dan semisalnya.” Niat dapat mengungkapkan jenis keinginan,
dan dapat pula mengungkapkan yang diinginkan itu sendiri.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/251) .
Ibnu Rajab berkata, “Niat menurut para ulama mengandung dua maksud, yaitu:
Pertama, sebagai pembeda antara satu ibadah dengan yang lain, seperti
membedakan antara shalat zhuhur dengan shalat ashar, puasa Ramadan
dengan puasa yang lain; atau pembeda antara ibadah dengan adat
kebiasaan, seperti membedakan antara mandi junub (mandi wajib) dengan
mandi untuk sekedar mendinginkan atau membersihkan badan atau yang
semisalnya. Niat semacam ini banyak dibicarakan oleh para ahli fikih
dalam kitab-kitab mereka.
Kedua, untuk membedakan tujuan dalam beramal, apakah yang dituju
adalah Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya atau semata-mata hanya
untuk selain-Nya, atau untuk Allah tapi juga untuk selain-Nya. Niat
semacam ini dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika
membicarakan masalah ikhlas dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Para
ulama salaf juga banyak membicarakan masalah ini.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/28-29).
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya).”
Ibnu Rajab berkata, “Perkataan ini menerangkan bahwa seseorang tidak
akan mendapatkan hasil dari amalannya melainkan apa yang telah
diniatkannya; jika dia meniatkan untuk kebaikan niscaya akan memperoleh
kebaikan, dan jika meniatkan untuk kejelekan niscaya akan memperoleh
kejelekan pula. Dan kalimat ini bukan semata-mata pengulangan dari
kalimat pertama, (yakni innamal a’maalu binniyat), karena
kalimat pertama menunjukkan bahwa baik dan buruknya amalan tergantung
pada niat yang melakukannya, sedangkan kalimat kedua menunjukkan bahwa
pelakunya mendapat pahala amalan kalau niatnya baik dan akan mendapatkan
siksa kalau niatnya jelek. Niat bisa saja dalam hal yang mubah di mana
amalannya pun mubah sehingga seseorang tidak memperoleh pahala maupun
siksa. Jadi, amalan seseorang dianggap baik, buruk, atau mubah
tergantung pada niatnya; apakah baik, jelek, atau mubah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/27-28).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang dua kalimat ini (yakni innamal a’maalu binniyat dan wa innamaa likullimri-in maa nawaa).
Sebagian ulama mengatakan bahwa kedua kalimat ini memiliki satu makna,
dan kalimat kedua hanya merupakan penegas bagi kalimat pertama saja.
Pendapat ini tidak benar, karena kalimat kedua juga merupakan pokok
pembicaraan tersendiri, bukan hanya sebagai penegas. Apabila kita
perhatikan secara seksama dua kalimat tersebut akan nampak bahwa
keduanya mempunyai perbedaan yang jelas, yaitu: kalimat pertama
berbicara tentang sebab, sedangkan kalimat kedua berbicara tentang
hasil.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/12).
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا
أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيِهِ
“Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya,
maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa
hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau
karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah
yang ditujunya.”
Imam An-Nawawi berkata, “Maksudnya ialah, barangsiapa tujuan
hijrahnya mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan
mendapatkan pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla; barangsiapa tujuan
hirahnya untuk mencari hal-hal yang sifatnya keduniaan atau untuk
menikahi seorang wanita maka itulah yang akan ia peroleh dan tidak ada
bagian baginya di akhirat karena hijrahnya itu. Kata hijrah arti asalnya
ialah meninggalkan. Yang dimaksud dalam hadits di atas adalah
meninggalkan negeri.” (Syarah Shahih Muslim 13/47-48).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hijrah menurut zahir hadits
ini berarti bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Dan bepergian
adalah suatu ungkapan yang masih umum sehingga sangat tergantung dengan
niat pelakunya. Bisa jadi seseorang bepergian untuk hal yang wajib,
seperti berhaji atau berjihad, dan bisa jadi bepergian untuk hal yang
haram, seperti bepergian untuk merampok, bepergian untuk keluar dari
jama’ah kaum muslimin, perginya budak yang kabur dari pemiliknya, dan
perginya wanita yang dalam keadaan nusyuz (durhaka pada suami).” (Majmu’ Al-Fatawa 18/253-254).
Ibnu Rajab berkata, “Kata hijrah arti asalnya ialah meninggalkan
negeri syirik menuju ke negeri Islam, sebagaimana kaum muhajirin
–sebelum penaklukkan kota Mekkah– berhijrah dari Mekkah ke Madinah. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/37).
Ibnu Hajar berkata, “Hijrah artinya meninggalkan. Hijrah kepada
sesuatu; artinya berpindah kepada sesuatu dari sesuatu yang lain
sebelumnya. Secara syar’i, hijrah berarti meninggalkan apa yang dilarang
oleh Allah. Hijrah yang pernah terjadi dalam Islam ada dua bentuk,
yaitu:
Pertama, hijrah dari negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman,
sebagaimana dua hijrah yang pernah dilakukan kaum muslimin, yaitu dari
Mekkah ke negeri Habasyah dan dari Mekkah ke Madinah.
Kedua, hijrah dari negeri kafir ke negeri iman, yaitu hijrahnya siapa
saja dari kalangan kaum muslimin yang sanggup melakukannya ke Madinah
setelah Nabi menetap di sana. Waktu itu, hijrah memang dikhususkan untuk
perpindahan dengan tujuan ke Madinah saja. Namun, pengkhususan ini
berakhir hingga ditaklukkannya kota Mekkah. Untuk selanjutnya, hijrah
kembali dipakai secara umum, yaitu untuk segala perpindahan dari negeri
kafir ke negeri iman bagi siapa yang sanggup melakukannya.” (Kitab Fathul Bari I/23).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Hijrah ialah berpindahnya seseorang
dari negeri kafir menuju negeri Islam. Sebagai misalnya, seseorang yang
tinggal di Amerika, -Amerika saat ini adalah merupakan negeri kafir-
kemudian dia masuk Islam, tetapi tidak bisa melaksanakan ajaran Islam
secara leluasa di sana, lalu dia berpindah ke (salah satu dari)
negeri-negeri Islam. Begitulah yang namanya hijrah.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/14-15).
Faedah Hadits:
1. Imam As-Syafi’i berkata, “Hadits ini telah mencakup sepertiga ilmu, dan mengandung tujuh puluh masalah fikih.” (Kitab Jami’ Al ‘ulum Wa Al Hikam I/23. Lihat juga kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47, kitab Fathul Bari I/17).
2. Imam Ahmad berkata, “Dasar-dasar Islam ada pada tiga hadits, yaitu
Hadits Umar:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Hadits A’isyah:
من أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
dan hadits An-Nu’man bin Basyir (Kitab Jami’ Al ‘ulum Wa Al Hikam I/23):
اَلْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
3. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi menjelaskan bahwa hadits ini
mencakup sepertiga ilmu. Penjelasannya: amal usaha seorang hamba bisa
dihasilkan dengan hati, lidah, dan anggota badannya. Niat adalah salah
satu amalan hati dan merupakan sarana beramal yang terkuat dari
ketiganya, karena niat bisa menjadi suatu ibadah yang berdiri sendiri
dan sangat dibutuhkan oleh ibadah-ibadah yang dihasilkan oleh anggota
badan lainnya.” (Kitab Fathul Bari I/17).
4. Ibnu Rajab berkata, “Bukhari mengawali kitab Shahih-nya
dengan hadits ini dan menempatkannya sebagai khutbah pendahuluan. Ini
merupakan isyarat dari beliau bahwa semua amalan yang tidak ditujukan
untuk memperoleh wajah Allah adalah batil; tidak ada hasilnya di dunia
maupun akhirat.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam I/23).
5. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Bagi siapa yang ingin mengarang
sebuah kitab hendaknya memulai dengan hadits ini untuk mengingatkan
penuntut ilmu agar memperbaiki niat.” (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).
6. Yahya bin Abi Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat lebih utama dari amal.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/34).
7. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling berat
yang aku hadapi daripada niat, karena niat selalu berubah-ubah.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/34. Lihat juga kitab Tadzkirah As Sami’ karya Al-Kittani hal. 681).
8. Al-Fadhl bin Ziyad berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah -yakni Ahmad- tentang niat dalam beramal. Aku bertanya, ‘Apakah niat itu?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak menginginkan pujian manusia.’” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26).
9. Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati karena baiknya amal, dan baiknya amal karena baiknya niat.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam 1/35).
10. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Bisa jadi amal saleh yang kecil
dibesarkan nilainya oleh niat, dan bisa jadi amal saleh yang besar
dikecilkan nilainya karena niat pula.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam 1/35).
11. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Tidaklah amalan itu
bertambah nilainya dan besar pahalanya melainkan tergantung pada
keimanan dan keikhlasan yang terdapat dalam hati pelakunya,
sampai-sampai jika seorang berniat jujur (untuk melakukan kebaikan)
-khususnya apabila berhubungan dengan amalan yang disanggupinya- maka
dia sama seperti orang yang melakukannya (sekalipun ia belum
melakukannya).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mati (sebelum sampai ke tempat yang
dituju), maka dia akan mendapatkan pahala hijrahnya dari Allah.” (QS. An-Nisa’: 100)
Dan dalam sebuah hadits shahih yang marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) disebutkan,
إِنْ مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ صَحِيْحاً مُقِيْماً
“Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka dicatat untuknya apa yang biasa dikerjakannya ketika dia sehat dan mukim.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad IV/410 dan 418, Bukhari hadits no. 2996 dari Abu Musa Al-Asy’ari)
إِنَّ بِالْمَدِيْنَةِ أَقْوَاماً مَا سِرْتُمْ مَسِيْراً، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً إِلاَّ كَانُوْا مَعَكُمْ -
أَيْ فِيْ نِيَّاتِهِمْ وَقُلُوْبِهِمْ وَثَوَابِهِمْ – حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ
“Sesungguhnya di Madinah ada sekelompok orang yang tidaklah kalian
melalui suatu jalan, dan melintasi suatu lembah melainkan mereka sama
seperti kalian – yakni dalam niat, hati, dan pahala – karena mereka
terhalang sesuatu udzur.” (Kitab Bahjah Qulub Al Abrar hal. 14)
12. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seseorang yang telah bertekad
ingin melakukan suatu kebaikan yang biasa sudah dia kerjakan, tetapi
tidak bisa melakukannya karena terhalang oleh sesuatu hal, maka akan
dicatat untuknya pahala amalan tersebut dengan sempurna. Contohnya,
apabila seseorang yang biasa shalat berjamaah di masjid, akan tetapi
terhalang oleh sesuatu seperti tertidur, sakit atau semisalnya, maka
akan dicatatkan untuknya pahala (seperti pahala) orang yang shalat
berjamaah dengan sempurna; tidak dikurangi sedikit pun. Adapun apabila
bukan sesuatu yang biasa diamalkannya, maka hanya akan dicatatkan
untuknya pahala niatnya saja; tidak dengan pahala amalnya.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/29).
13. Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan
(sesuai tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak
benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas
juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan
dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu
apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).
14. Ibnu Rajab berkata, “Dan apa yang dikatakan oleh Al-Fudhail sesuai dengan yang dijelaskan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah
mengerjakan amal saleh dan janganlah mempersekutukan sesuatu pun dalam
beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110). (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).
Syaikhul Islam berkata, “Dasar amal saleh seseorang adalah keikhlasan
niat semata-mata untuk Allah, karena Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah
menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul, dan menciptakan makhluk
melainkan agar mereka beribadah kepadanya. Begitulah dakwah para rasul
yang mereka tujukan untuk semua manusia, sebagaimana yang Allah telah
sebutkan di dalam Kitab-Nya melalui lisan para rasul-Nya dengan
sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, para ulama Salaf senang membuka dan
memulai majlis-majlis, kitab-kitab mereka, dan hal-hal lainnya dengan
hadits.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/246)
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
15. Beliau juga berkata, “Mengikhlaskan amalan merupakan dasar agama
Islam. Oleh karena itu Allah membenci riya’ sebagaimana tersebut dalam
firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ، الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ، الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاءُوْنَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya; orang-orang yang berbuat riya.’” (QS. Al-Ma’un: 4-6)
dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
وَإِذَا قَامُوْا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوْا كُسَالَى يُرَاءُوْنَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan
malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat mereka) di hadapan manusia.
Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَآءَ النَّاسِ
“…seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 264)
dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ رِئَآءَ النَّاسِ
“Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia.” (QS. An-Nisa’: 38)
16. Ibrahim At-Taimi berkata, “Orang yang ikhlas niatnya adalah orang
yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan
kejelekannya.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/257).
17. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Dalam semua amalan, niat
tempatnya di hati, bukan di lidah. Oleh karena itu, barangsiapa yang
mengucapkan niat dengan lisan ketika hendak shalat, puasa, haji, wudhu,
atau amalan yang lain, maka dia telah melakukan bid’ah; mengamalkan
sesuatu yang tidak ada asalnya dalam agama Allah. Hal itu karena Nabi
berwudhu, shalat, bersedekah, berpuasa, dan berhaji tidak pernah
mengucapkan niat dengan lisan, karena niat memang tempatnya di hati.
Allah mengetahui apa yang ada dalam hati; tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi-Nya,” sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ‘Azza wa
Jalla dalam ayat yang dibawakan oleh pengarang (yakni Imam Nawawi):
قُلْ إِنْ تُخْفُوْا مَا فِيْ صُدُوْرِكُمْ أَوْ تُبْدُوْهُ يَعْلَمْهُ اللهُ
“Katakanlah: ‘Jika kamu menyembunyikan sesuatu yang ada dalam hatimu atau kamu menampakannya, pasti Allah mengetahui.’” (QS. Ali Imran: 29) (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/9-10).
18. Beliau juga berkata, “Setiap amalan yang dikerjakan oleh seorang
manusia yang berakal dan memiliki kemampuan berikhtiyar, maka amalannya
mesti bersumber dari niat; tidak mungkin orang yang berakal lagi
memiliki kemampuan berikhtiyar mengerjakan suatu amalan tanpa niat.”
(Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/12).
19. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebagian pengikut Imam
Syafi’i telah salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau
menyebutkan perbedaan antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu
Imam Syafi’I mengatakan, “…shalat permulaannya adalah ucapan.” Sebagian
pengikutnya itu memahami bahwa yang beliau maksudkan adalah mengucapkan
niat, padahal yang beliau maksudkan tidak lain adalah takbiratul ihram.”
(Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362).
20. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Niat itu akan mengikuti
pengetahuan seseorang. Barangsiapa mengetahui apa yang hendak dia
kerjakan, maka pasti dia akan meniatkannya, seperti seorang yang
disajikan makanan di hadapannya. Maka, bila dia tahu dan secara sadar
ingin memakannya mesti hatinya akan meniatkannya; demikian halnya dengan
orang yang hendak mengendarai kendaraan atau amalan lainnya. Bahkan,
kalau para hamba dibebani untuk mengerjakan suatu amalan tanpa niat,
berarti mereka dibebani dengan sesuatu yang tidak mereka sanggupi.”
(Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/262).
21. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Dan wajib atas seseorang
mengikhlaskan niat kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah
meniatkan ibadahnya semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri
akhirat. Inilah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:
وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Yakni, mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya. Hendaknya
kita menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu; kita
niatkan berwudhu karena Allah ‘Azza wa Jalla dan untuk melaksanakan
perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Tiga perkara berikut (yang harus
dihadirkan dalam niat): (1). Berniat untuk beribadah, (2). Berniat
beribadah tersebut karena Allah semata, dan (3). Berniat bahwa ia
menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10).
22. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Hadits Umar, yaitu:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
adalah timbangan bagi amalan batin (yang tersembunyi), sedangkan hadits ‘Aisyah, yakni
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
adalah timbangan amalan lahir (yang tampak).” (Kitab Bahjah Qulub Al Abrar hal. 10).
23. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Manusia berhijrah berbeda-beda
niatnya. Pertama, ada yang berhijrah meninggalkan negerinya menuju Allah
dan Rasul-Nya, yakni menuju syari’at Allah yang Allah syari’atkan
melalui lisan Rasul-Nya. Hijrah seperti inilah yang akan memperoleh
kebaikan dan pahala. Oleh karena itu, Nabi mengatakan: ‘… maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya,’ yakni dia memperoleh apa yang telah diniatkannya.
Kedua, ada yang berhijrah karena (harta perhiasan) dunia yang ingin
dia dapatkan. Misalnya, ada seseorang senang mengumpulkan harta; kemudia
dia mendengar bahwa di negeri Islam ada lahan subur untuk dia olah;
lalu dia berhijrah dari negeri kafir yang dia tempati ke negeri Islam
tanpa ada niatan sedikit pun agar di negeri Islam itu dia bisa secara
baik melakukan agamanya; dan dia juga tidak memiliki perhatian kecuali
untuk kepentingan harta semata.
Ketiga, seseorang berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam
karena ingin menikahi seorang wanita, karena (pihak wali wanita
tersebut) mengatakan kepadanya, ‘Kami tidak akan menikahkanmu kecuali di negeri Islam dan kamu tidak boleh membawanya pergi ke negeri kafir.’ Jadi, dia pun berhijrah dari negerinya ke negeri Islam demi wanita tersebut.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/14-15).
24. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hijrah dari negeri kafir
ke negeri Islam wajib hukumnya bagi siapa saja yang mampu. Dan suatu
negeri dikatakan sebagai negeri kafir, negeri iman, atau negeri fasik
bukanlah karena dzatnyanya negeri tersebut, akan tetapi bergantung
kepada keadaan penduduknya. Suatu negeri yang pada waktu tertentu
penduduknya orang-orang beriman dan bertakwa berarti negeri tersebut
adalah negeri iman, negeri para kekasih Allah pada saat tersebut. Suatu
negeri yang penduduknya orang-orang kafir berarti negeri tersebut
dinamakan negeri kafir pada saat itu. Begitu juga, suatu negeri yang
penduduknya orang-orang fasik, maka berarti negeri tersebut dinamakan
negeri fasik pada saat itu. Kemudian jika yang menempati negri tersebut
adalah selain yang kami sebutkan dan penduduknya berganti dengan selain
mereka, maka berarti ia adalah negeri (sebagaimana masyarakat yang
menghuninya).” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/281-282).
25. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Hijrahnya seseorang
dari tempat yang kafir dan maksiat ke tempat iman dan taat sama seperti
dia bertaubat dan berpindah dari kekufuran dan kemaksiatan menuju
keimanan dan ketaatan; dan hal itu akan senantiasa ada sampai hari
kiamat.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/284).
26. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Berhijrah itu bisa terhadap perbuatan, atau pelaku suatu perbuatan, atau terhadap tempat.
Yang pertama, hijrah atau meninggalkan tempat. Yaitu, seseorang
berpindah dari suatu tempat yang banyak kemaksiatan dan kefasikan di
dalamnya; bisa dari negeri kafir menuju ke negeri (tempat) yang tidak
ada hal seperti itu, (meskipun bukan negeri Islam); namun yang paling
utama adalah berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Para ulama
telah menyebutkan bahwa berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam
hukumnya wajib bila sesorang muslim tidak bisa secara leluasa melakukan
agamanya. Adapun apabila dia bisa secara leluasa melakukan agamanya dan
tidak ada yang menentang bila dia melaksanakan syiar-syiar Islam, maka
tidak wajib berhijrah baginya, tetapi hanya dianjurkan saja. (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/15-16).
Yang kedua, hijrah atau meninggalkan perbuatan. Yaitu seseorang
meninggalkan kemaksiatan dan kefasikan yang dilarang oleh Allah,
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وِالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Muslim hakiki adalah yang orang-orang muslim lainnya bisa
selamat dari keburukan lidah dan tangannya. Muhajir (orang yang
berhijrah) hakiki adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang Allah
larang.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/19-20).
Yang ketiga, hijrah atau meninggalkan pelaku perbuatan. Seseorang
yang melakukan suatu perbuatan terkadang wajib ditinggalkan. Kata para
ulama, misalnya seseorang yang suka berbuat maksiat; bila kita pandang
dengan berhijrah ada manfaat dan faedah maka kita disyari’atkan
meninggalkannya. Faedah dan kemaslahatan dimaksud adalah, setelah kita
tinggalkan kita perkirakan akan tahu kondisi dirinya, lalu sadar
terhadap kemaksiatan yang selama ini dilakukannya, lalu meninggalkan
kemaksiatan tersebut.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/20).
Kesimpulan
- Niat merupakan sepertiga ilmu yang harus kita pelajari.
- Niat semakna dengan maksud dan keinginan hati.
- Niat menurut para ulama mengandung beberapa maksud, yaitu:a. Untuk
membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti antara
shalat fardlu dengan shalat sunnah.
b. Untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti antara puasa ibadah dengan puasa diet.
c. Untuk membedakan yang dituju dalam ibadah, apakah yang dituju Allah semata atau selain-Nya semata, atau Allah tapi dengan selain-Nya. - Hakikat niat adalah bagaimana seseorang menguasai dirinya agar tidak menginginkan pujian manusia ketika hendak beramal.
- Semua amalan selalu bersumber dari niat.
- Setiap orang akan memperoleh balasan dari apa yang telah diniatkannya; bila niatnya baik akan meperoleh pahala kebaikan dan bila niatnya jelek akan memperoleh balasan kejelekan.
- Besar kecilnya nilai suatu amal saleh dipengaruhi oleh niat.
- Niat tempatnya di hati. Siapa yang mengucapkannya berarti telah jatuh kepada bid’ah.
- Seorang yang meniatkan suatu amalan yang biasa dikerjakannya atau dalam usaha mengerjakannya, lalu terhalang oleh sesuatu udzur maka nilainya sama seperti orang yang mengerjakannya (yakni dia akan memperoleh pahala niat dan pahala amalannya).
- Seseorang yang telah meniatkan suatu amalan sementara dia belum ada usaha untuk merealisasikannya, dan amalan tersebut juga bukan amalan yang biasa dilakukannya, maka ia hanya memperoleh pahala niatnya saja.
- Tiga niat yang harus dihadirkan setiap kali kita hendak melakukan perbuatan:
i. Berniat untuk berbuat.ii. Berniat karena Allah. iii. Berniat karena ingin melaksanakan perintah Allah. - Wajib bagi kita mengikhlaskan segala ibadah untuk Allah semata, karena ibadah menjadi tujuan diciptakannya manusia, diturunkannya kitab-kitab, dan diutusnya para rasul.
- Setiap perbuatan hanya akan diterima bila diikhlaskan untuk Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah.
- Riya’ termasuk salah satu pembatal amalan seseorang.
- Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan.
- Secara syar’i, hijrah ada tiga macam:i. Hijrah terhadap tempat, seperti hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam.
ii. Hijrah terhadap amal, seperti hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan.
iii. Hijrah terhadap pelaku perbuatan, seperti meninggalkan teman yang buruk lalu mendekati dan bergaul dengan teman yang baik lagi shaleh. - Berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam hukumnya wajib bagi yang mampu dan tidak bisa leluasa melaksanakan agamanya. Untuk yang selain itu hukumnya sunnah saja.
- Berhijrah dari negeri kafir dan maksiat ke negeri Islam sama dengan bertobat dari kekufuran dan kemaksiatan menuju keimanan dan ketaatan.
- Meninggalkan pelaku kemaksiatan dan kejelekan hukumnya bisa wajib atau sunnah saja bila dipandang membawa faedah dan maslahat.
Referensi
- Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (773-852 H.), Cet. ke-2 Th. 1407 H./1987 M., Dar Ar-Rayyan Lit-Turats, Kairo.
- Syarah Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi (607 H.), Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.
- Tahdzib Al Kamal Fi Asma’ Ar-Rijal, karya Al-Hafizh Al-Mizzi (654-742 H.), kopian manuskrip dari Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, Cet. Dar Al-Ma’mun Lit-Turats, Beirut.
- Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (773-652 H.), Tahqiq Syaikh ‘Adil Ahmad Abdul Maujud dan Syaikh Ali Muhammad Mu’awwadh, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.
- Majmu’ Al-Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H.), dikumpulkan dan disusun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim An-Najdi dibantu oleh anaknya, Muhammad.
- Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab (736-395 H.), Tahqiq Syaikh Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Ibnul Jauzi, Dammam – KSA.
- Bahjah Qulub Al Abrar, karya Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di (1307-1376 H.), Cet. ke-3 Th. 1408 H./1987 M., Maktabah As-Sundus, Kuwait.
- Syarah Riyadhus Shalihin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Wathan, Riyadh – KSA.
- Ar-Rahiq Al Makhtum, karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Cet. ke-6 Th. 1411 H./1991 M., Dar Al-Qiblah Lits-Tsaqafah Al-Islamiyyah, Jeddah – KSA.
- Min Akhlaq As-Salaf, karya Ahmad Farid, Cet. Th. 1412 H./1991 M., Dar Al-’Aqidah Lit-Turats, Iskandariyyah.
***
Sumber: Majalah Fatawa
Penulis: Ustadz Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda
Penulis: Ustadz Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda