Umat
Islam sering dituding sebagai pihak yang tidak mau menghargai perbedaan
di tengah kemajemukan bangsa, semisal dalam rangka perayaan Hari Raya
Natal yang jatuh pada tanggal 25 bulan Desember ini. MUI sejak tahun
1981 telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk menghadiri
perayaan Natal bersama.
Sejalan dengan itu, tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih (1991) juga menerangkan bahwa hukum menghadiri PNB adalah haram. Meskipun telah jelas disampaikan, namun masih banyak diantara masyarakat, termasuk umat Muslim itu sendiri yang menganggap angin lalu seruan itu. Banyak dari umat Muslim dengan terpaksa ataupun sukarela memberikan ucapan selamat Natal hingga ikut serta dalam perayaan tersebut.
Sebelum mendudukkan makna toleransi, kaum Muslim harus sadar dan memahami betul terlebih dahulu bagaimana syariat Islam, sebagai agama yang diyakininya mengatur hubungan dirinya dengan umat di luar Islam agar tidak salah dalam menunjukkan sikap toleransi. Islam dengan tegas memberikan batasan yang jelas dan pasti (qath’i) dalam permasalahan aqidah.
Perayaan 25 Desember oleh umat Kristen berkaitan dengan perayaan kelahiran ‘Tuhan Yesus’ bagi mereka, sekalipun pada faktanya merupakan kesalahan yang nyata bila kelahiran Yesus ditetapkan pada 25 Desember. Namun, karena umat Kristiani telah menetapkannya sebagai perayaan ritual agama mereka, maka jelas ini adalah permasalahan aqidah.
Perayaan Natal ini berarti perayaan atas kesyirikan menyekutukan Allah. Telah kita ketahui bersama bahwa ucapan selamat adalah ucapan kebaikan yang mengandung doa dan harapan, juga menjadi ungkapan kegembiraan bahkan penghargaan untuk orang yang diberi selamat.
Artinya, umat Islam yang mengucapkan selamat kepada mereka, sama saja dengan memberikan penghargaan atau mengagungkan sekutu Allah. Padahal jelas, Allah sendiri telah menyatakan mereka adalah orang kafir, yang di akhirat kelak akan diberikan sikas teramat pedih.
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (TQS. Al Maidah: 72).
Jadi, jelas sekali, mengucapkan selamat Natal dan selamat hari raya agama lain adalam haram dan dosa, apalagi ikut serta dalam merayakannya.
Jika kita cermati, seruan ikut serta dalam perayaan Natal, juga merupakan kampanye ide pluralime yang mengajarkan kebenaran semua agama.
Khusus dalam konteks Natal, ajaran ini mengajak umat untuk menerima kebenaran ajaran Kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus.
Jelas ini adalah sebuah penyimpangan. Allah SWT berfirman:
“...Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama
bagimu...” (QS. Al Maidah: 3).
. . . Jika kita cermati, seruan ikut serta dalam perayaan Natal, juga merupakan kampanye ide pluralime yang mengajarkan kebenaran semua agama. . .
Lalu
bagaimana bentuk toleransi Islam terhadap agama lain dalam konteks
perayaan hari raya mereka? Disinilah berlaku ayat Allah: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (QS. al-Kaafiruun: 6).
Toleransi kita adalah dengan membiarkan mereka melakukan apa yang mereka yakini tanpa kita ganggu, bahkan tanpa kita perlu ikut serta di dalamnya.
Inilah bentuk toleransi kita, bukannya ikut-ikutan dengan kebablasan dan justru terjebak dalam kekufuran. Allah SWT berfirman:
“...dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan
yang tidak berfaedah, maka mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan
dirinya.” (TQS. Al-Furqan: 72).
Di sisi yang lain, justru bentuk kebaikan kita yang sesungguhnya terhadap mereka adalah bukan dengan mengucapkan selamat Natal pada mereka, melainkan kita ingatkan mereka dengan cara yang baik dan tanpa paksaan untuk mau memeluk Islam dan menyadarkan bahwa apa yang mereka yakini adalah sebuah kesalahan.
Allah berfirman:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. An-Nahl: 125)
Tidak sepantasnya umat Muslim terperdaya ikut merayakan Natal hanya karena takut dicap sebagai orang yang tidak menjunjung toleransi. Sayangnya, masih banyak kaum Muslim, termasuk penguasa negeri ini lebih mengedepankan pandangan manusia daripada pandangan Allah terhadapnya.
Mengapa ketakutan kita kepada manusia lebih besar ketimbang rasa takut kepada Yang Menciptakan manusia? Allah SWT. berfirman:
"Karena
itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.
Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (TQS al-Maidah: 44).
Jika penguasa negeri Muslim saja memberikan contoh kebebasan untuk ikut serta dalam perayaan Natal bersama, maka jangan heran jika masyarakat umum ikut-ikutan merayakannya.
Realitas yang ada ini menjadi bukti bahwa penjagaan akidah umat itu membutuhkan kekuasaan dan kepemimpinan yang menjunjung kedaulatan hukum syariat untuk diterapkan secara menyeluruh. Tidak lain hal itu dapat terlaksana kecuali dengan adanya Khilafah Islamiyah.
Sistem Islam dengan syariahnya diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Sejarah mencatat, sebagaimana yang disampaikan T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam:
“Perlakuan
Islam terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman—selama kurang
lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani—telah memberikan contoh
toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…”
. . . Tidak sepantasnya umat Muslim terperdaya ikut merayakan Natal hanya karena takut dicap sebagai orang yang tidak menjunjung toleransi . . .
Dengan
demikian, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak memperjuangkan
sesuatu yang akan menjaga aqidah umat Islam, termasuk memberikan hak
kebebasan umat non-Islam dalam beribadah, yaitu Khilafah ‘ala minhaaj
an-Nubuwwah. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan
pertolongan-Nya pada setiap orang yang memperjuangkannya.
Tika Maesaroh, S.Pd
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia